Jumat, 11 Januari 2013

Jika Satu Pilihan Sekiranya Bisa Menyelamatkan

Ini tahun kedua saya menjalani pendidikan di IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri). Yang saya rasa, untuk sebuah masa pendidikan selalu ada tingkat kejenuhan. Tetapi untuk 4 (empat) tahun lamanya, saya tidak tahu kapan puncak kejenuhan itu sewajarnya akan dirasakan. Berada di lembaga pendidikan ini tentu bukan kesengajaan. Yang katanya, hidup adalah sebuah pilihan, mungkin ini salah satu hasilnya. My life is my decision. (Yup, apalagi disaat mengalami kebuntuan. Hehehe.)

Saya tipikal orang yang memperhatikan gengsi atau level kemenangan yang diinginkan banyak orang. Dan saya adalah orang yang bertoleransi, selalu menyediakan banyak alternatif untuk menyelamatkan diri dari kegagalan target, mengambil banyak pilihan untuk sama-sama didapatkan. Memang pada dasarnya dunia ini menyediakan banyak tawaran.

Ini tahun kedua saya menjalani pendidikan. Rasanya, ada sesuatu yang hilang untuk bersemangat melakukan segala aktivitas padahal segalanya cukup baik disini. Terkadang ada sesuatu yang ingin saya pikirkan dan lakukan. Tidak salah lagi, pilihan-pilihan hidup yang saya tinggalkan begitu saja rupanya menjadi arwah gentayangan yang menagih janji. Juga seperti kekasih yang ingin kembali karena saya pernah mencintai. (berlebihan...)

Saya telah bermimpi sehingga punya banyak ambisi. Berusaha membuat mimpi-mimpi nyata sejadinya. Banyak waktu, tenaga, dan materi  dikorbankan. Tapi nyatanya, hidup bukan selamanya untuk konsisten. Bukan selamanya harus berlari, butuh waktu menghela nafas untuk bersiap kembali. Berdampingan dengan bom waktu yang segera meledak menghancurkan segalanya. Satu pilihan sekiranya bisa menyelamatkan. Meski tepatnya bukan menyerah, rasanya terlalu sombong dan tidak tahu diri jika terus memaksa. Sampai kapan mau berambisi? Toh lelah dan luka sudah parah dinikmati. Hahaha... Jadi, mungkin disinilah tempatnya.

Hmm... dan apalagi yang salah?
Feel so flat. Monotonic. No target, just live according to the rules.
(Ini sekadar rasa dan cara yang saya jalani, pun bisa saja jadi salah jika orang lain menilainya)
Sejujurnya, rindu teror bom waktu yang membuat saya berpacu setiap hari. Dunia terlihat begitu luasnya. Spirit baru disetiap ruangnya. Bersaing, adalah kenikmatan hidup yang luar biasa. Karena kalah atau menang sama-sama tidak ada kepuasan, merangsang untuk mendapat lebih, lebih, dan lebih... Yang lebih hebat lagi, hidup tanpa sebuah jaminan menjadikan manusia semakin bermutu. Mengerti akan sebuah kemenangan. Mengerti akan sebuah kekalahan. Kata kuncinya, hanya bagaimana bisa survive dan terus berusaha. Sepertinya saya telah melakukan hal bodoh. Tapi, bagaimana jika satu pilihan sekiranya bisa menyelamatkan?